Benny Wenda di Pusaran Perang Informasi: Antara Fakta, Disinformasi, dan Perebutan Narasi Papua
Ketika Isu Papua Menjadi Medan Perang Informasi
Papua bukan hanya wilayah konflik bersenjata — ia juga menjadi medan perang informasi antara kelompok pro-kemerdekaan, pemerintah Indonesia, dan aktor global yang berkepentingan.
Salah satu figur yang paling sering menjadi target dalam arus informasi yang saling bertabrakan itu adalah Benny Wenda, aktivis diaspora Papua yang berbasis di Inggris.
Laporan Misinformation Review (Harvard Kennedy, 2022) menunjukkan bahwa sejak 2019 terjadi kampanye disinformasi terorganisir pro-pemerintah yang menyebarkan narasi tertentu tentang Papua dan tokoh-tokoh pro-independensi, termasuk Wenda.
Tujuannya bukan sekadar menggiring opini publik, tetapi juga mengaburkan batas antara fakta dan propaganda dalam isu kemerdekaan Papua.
Temuan Harvard: Jejak Kampanye Disinformasi Pro-Pemerintah
Peneliti Harvard mengungkap jaringan akun palsu di berbagai platform digital (terutama Facebook dan Twitter) yang menyebarkan konten-konten seolah-olah bersumber dari media lokal independen.
Namun setelah ditelusuri, konten-konten itu ternyata terkoneksi ke agensi komunikasi yang beroperasi untuk kepentingan pemerintah Indonesia.
Beberapa pola narasi yang diidentifikasi antara lain:
-
Menyerang kredibilitas tokoh pro-kemerdekaan, seperti Benny Wenda, dengan tuduhan ekstremis, separatis, atau boneka asing.
-
Mempromosikan narasi stabilitas dan pembangunan Papua versi pemerintah.
-
Mengaburkan informasi faktual dengan mencampur berita benar dan salah dalam satu narasi yang sulit diverifikasi.
Peneliti menyebutnya sebagai “state-aligned digital influence operations” — operasi pengaruh digital yang berorientasi mempertahankan legitimasi negara dengan membentuk persepsi global.
Benny Wenda di Tengah Dua Narasi yang Bertolak Belakang
Kasus ini menempatkan Wenda dalam posisi yang rumit.
Di satu sisi, ia dikritik keras oleh sesama aktivis Papua (seperti Sebby Sambom dan kelompok TPNPB-OPM) karena dianggap berjarak dari realitas Papua dan terlalu bergantung pada dukungan Barat.
Namun di sisi lain, ia juga menjadi sasaran kampanye disinformasi yang terkoordinasi, yang berusaha menggiring persepsi publik internasional bahwa seluruh gerakan Papua Merdeka hanyalah proyek asing.
Akibatnya, Wenda menjadi figur yang terbelah dalam dua cermin:
-
Di satu sisi, digambarkan sebagai “pejuang kebebasan.”
-
Di sisi lain, dicitrakan sebagai “agen asing” atau “aktivis bayaran.”
Kedua gambaran ini membentuk medan informasi yang membingungkan — di mana kebenaran bukan lagi soal data, tapi soal siapa yang lebih berhasil menguasai narasi.
Disinformasi dan Dampaknya terhadap Persepsi Global tentang Papua
Artikel Harvard tersebut menyoroti dampak serius dari kampanye semacam ini terhadap wacana internasional.
Publik luar negeri yang tidak memahami kompleksitas Papua menjadi sulit membedakan antara laporan HAM yang sahih dan kampanye politik yang dikemas sebagai berita.
Bagi Benny Wenda, disinformasi semacam ini memperkuat paradoks yang sudah melekat padanya:
Setiap kali ia berbicara di forum dunia, lawan-lawan politiknya dapat dengan mudah mengutip artikel, cuitan, atau postingan yang menuduhnya ekstremis — walau sebagian besar berasal dari jaringan akun bayangan yang diidentifikasi Harvard sebagai “inauthentic coordinated behavior”.
Dalam konteks ini, reputasi Wenda terbentuk bukan hanya oleh tindakannya, tetapi juga oleh medan perang digital yang menulis ulang siapa dirinya di mata dunia.
Antara Kritik yang Sah dan Fitnah yang Disengaja
Penting untuk membedakan antara kritik yang berbasis fakta — seperti kajian JRSSEM (2024) yang menilai Wenda gagal mewakili realitas lokal — dengan disinformasi sistematis yang bertujuan menggiring opini publik.
Kritik sah berbicara tentang substansi perjuangan dan tanggung jawab moral.
Sementara disinformasi bertujuan untuk menyerang reputasi pribadi dan memecah solidaritas politik.
Keduanya kini bercampur di media sosial, menciptakan medan abu-abu di mana tokoh seperti Wenda bisa sekaligus benar dan salah, tergantung dari siapa yang menulis ceritanya.
Kesimpulan: Wenda Sebagai Simbol Perang Narasi Papua
Kasus yang dibahas Misinformation Review (Harvard Kennedy, 2022) menunjukkan bahwa isu Papua telah bergeser dari medan pertempuran fisik ke medan informasi.
Dalam arena ini, Benny Wenda adalah simbol utama perang narasi — diserang dari dalam oleh sesama aktivis, dan diserang dari luar oleh mesin disinformasi.
Namun, di balik semua itu, satu hal tetap nyata:
Nasib rakyat Papua masih terpinggirkan di tengah debat global yang lebih sibuk memperdebatkan siapa yang “benar” ketimbang memperjuangkan kehidupan yang lebih baik bagi mereka.

Komentar
Posting Komentar